topbella

Senin, 12 Januari 2015

Aku dan Ibuku # 1

 Hal yang sangat aku sukai adalah mendengarkan cerita ibu tentang betapa centilnya aku di waktu kecil dulu sambil memijiti kaki beliau yang kelelahan.
Sampai-sampai tetanggaku di rumah yang kami tempati dulu waktu aku masih kecil terheran-heran dengan perubahanku, sambil berujar "Wah, ini Mega yang dulu centilnya minta ampun itu ya? Kok sekarang jadi kalem dan pendiam? " Hehe, Aku cuma bisa senyam-senyum karena tidak terlalu ingat. Kalau bukan karena cerita ibu tentang masa kecilku aku tidak mungkin ingat kalau dulu sering memecahkan mangkuk dan piring-piring cantik koleksi ibu saat sedang ngambek. Atau ketika aku memotong rambutku sendiri sampai botak karena sedang penasaran tentang apa fungsi gunting. Ibu bilang sampai menangis melihat rambutku yang cantik jadi tidak beraturan... ^^
    Aku sangat dekat dengan ibu. Tapi aku baru menyadari bahwa aku sangat sayang pada ibu dan tidak mungkin bisa hidup tanpanya adalah ketika aku mulai melalui masa remajaku. Di saat aku sedang labil itulah ibu selalu ada buatku. Walaupun kami terkadang tidak sependapat tentang satu dua hal, tapi itu sama sekali tidak menyurutkan cinta kasih antara kami berdua.
    Suatu saat, aku sakit tipes dan DB sekaligus. Padahal itu adalah detik-detik menjelang UN SMA. Mungkin saking gigihnya aku belajar sampai lupa mengawasi saat-saat makanku, akhirnya aku kena infeksi saluran pencernaan alias tipes itu. Sialnya, ada nyamuk DB yang memanfaatkan kesempatan menularkan virus ke tubuhku yang sedang lemah imunitasnya. Awalnya aku bersikeras tidak mau ke dokter. Aku benci disuruh minum obat. Kalau ibu sedang menanyakan
kondisiku, aku selalu berpura-pura sehat. Mungkin salah satu kelebihanku adalah pandai menyembunyikan rasa sakit. Akhirnya ibu percaya. Tapi, sebaik-baik menyimpan bangkai akhirnya tercium juga. Suatu malam aku benar-benar tidak bisa berpura-pura lagi. Badanku demam tinggi, rasanya nyeri semua dan tidak ada satu pun makanan yang berhasil masuk sejak tadi pagi. Lemas sekali. Baru kali itu aku sadar akan kelemahanku, bahwa aku masih membutuhkan bantuan orang lain. Saat itu juga aku langsung dibawa ke laboratorium untuk cek darah atas rekomendasi dokter. Dan benar saja, aku positif DB. Bahkan HB-ku terjun bebas. Kalau saja terlambat tidak tertangani, mungkin saat ini aku tidak akan bisa tersenyum sambil menuliskan ini.
    Saat di rumah sakit itulah saat dimana aku baru menyadari arti penting seorang ibu dalam hidupku. Selama ini aku sangat-sangat mandiri, seperti tidak membutuhkan bantuan siapapun. Tapi, ketika aku berada di ambang hidup dan mati, aku baru sadar bahwa air mata ibuku terlalu berharga untuk terjatuh menangisi anak sepertiku. Andai saja aku tidak ngeyel membantah ketika akan diperiksakan ke dokter saat gejala DB mulai terlihat, mungkin aku tidak perlu sampai harus
berada di ruang UGD. Mungkin ibu tidak perlu memperlihatkan wajah sendu melihatku terbaring lemah di ranjang RS. Aku sendiri seakan tidak percaya bahwa yang sedang disuntik sana sini untuk diambil darahnya dan dicek setiap saat ini adalah aku. Aku merasa masih seakan-akan sedang berlarian dengan teman-temanku di tengah lapangan. Bermain kasti dan gobak sodor. Tapi apa daya, aku harus menerima kenyataan bahwa tubuh yang lemah ini adalah milikku.
    Siang dan malam ibu tidak pernah berhenti mendoakanku dan selalu ada di sisiku. Aku sempat bercanda bagaimana kalau seandainya aku mati. Ibu marah sekali mendengarnya. Aku langsung bungkam. Di ruangan RS itu aku merasakan betul saat semua perhatian dan kasih sayang ibu tercurah kepadaku.
Tidak harus kubagi lagi dengan adik-adikku. Aku senang dan berharap andai itu masih kurasakan lebih lama lagi. Sejak saat itulah aku tidak pernah lagi membantah apapun yang ibu perintahkan padaku karena aku tidak mau kehilangan sikap lembut ibu. Baru kusadari, kalau selama ini yang membuat ibu selalu mengomel dan memerahkan telingaku tidak lain karena kebandelanku sendiri. Karena ketika aku bersikap manis dan taat, ibu juga ternyata sangat lembut dan penyayang.
Marah dan omelan ibu selama ini tidak lain adalah bentuk kasih sayangnya padaku. Agar aku tidak keterlaluan. Maafkan aku ya, ibu... ^^
    

    Dari hari ke hari, hubunganku dengan ibu semakin erat dan dalam. Meskipun ibu sejak kecil selalu menanamkan padaku tentang pentingnya kemandirian, tapi aku tetap tidak bisa membayangkan akan dapat hidup tanpanya. Ibu adalah belahan jiwaku. Segala nasihat dan pendidikan yang beliau ajarkan tidak ada yang sia-sia. Ibu selalu menasihati, bahwa jadi perempuan itu harus cerdas, santun, dan mandiri. Tidak boleh hanya menggantungkan hidup pada laki-laki. Aku harus berusaha mendapatkan rezeki yang halal sendiri. Jika bukan untuk keluarga, minimal bisa kutabung, kuinfakkan atau untuk memenuhi kebutuhanku sendiri.
Orang yang mendapatkan hasil dari usahanya sendiri itu hidupnya lebih tentram dibandingkan dari hasil meminta-minta, kata Ibu, meskipun itu sama-sama halal.
    Ibu selalu mendukung apapun keinginan dan cita-citaku. Aku tidak pernah dilarang bepergian ke tempat manapun yang aku mau. Izin berkegiatan bersama teman-teman selalu mudah aku dapatkan. Aku bahagia sekali. Ibu sangat memahami kalau aku tidak bisa dikekang dan dibatasi. Justru ketika aku dibiarkan bebas, aku akan belajar apa arti tanggung jawab dan amanah. Tidak heran, aku punya banyak pengalaman dalam hal yang positif. Pikiranku juga tidak sempit. Dan ibu sangat memahami kegemaranku membaca. Walau kadang masih diingatkan kalau sampai lupa waktu karena keasyikan membaca, tapi aku tidak pernah dilarang untuk meneruskannya. Ibu hanya ingin aku lebih pandai memanajemen waktuku.
    Tapi, ada satu hal yang mengkhwatirkanku. Akhir-akhir ini, ibu mulai sering protes kalau aku masih sering bepergian. Ibu bilang aku sudah seharusnya memikirkan
memikirkan hal-hal yang lebih penting dari sekedar jalan-jalan. Ibu ingin aku lebih sering di rumah. Membiasakan diri dengan beberapa pembatasan.
Aku sedih juga, padahal walaupun aku kelihatannya jalan-jalan, sebenarnya aku belajar. Bersilaturahim dan
membuka diri untuk kesempatan-kesempatan terbaik yang tidak boleh kulewatkan. Hm... aku tahu, sebenarnya pembicaraan ini hendak mengarah kemana.
Aku sadar, sebentar lagi usiaku 22. Dan ibu mungkin mulai gelisah dengan mimpi anak gadisnya yang hendak melanglang buana. Kalau tidak ada yang menggantikan peran ibu dalam mendampingi dan mengawasiku, mungkin ibu juga takut amanah Allah tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
    Aku sebenarnya tidak ingin mengabaikan keinginan ibu itu. Tapi mau bagaimana lagi, kalau dalam seminggu saja aku tidak bepergian rasanya jenuh sangat.
Walaupun mengabaikan keinginan ibu juga hanya melahirkan kegelisahan dan penyesalan dalam hatiku. Meskipun itu hanya dalam perkara yang sepele, memilih baju untuk datang ke suatu acara, misalnya.
    Tentang pernikahan, aku tidak mau mendahulukan keinginan ibu di atas keinginanku sendiri. Akhirnya beberapa laki-laki yang pernah datang untuk memintaku pada orangtuaku harus berlalu juga. Bahkan yang terakhir, di saat aku merasa sangat cocok dengannya - karena minat kami yang sama dalam banyak
hal, selalu nyambung dalam diskusi ringan, menengah, maupun berat - pun harus kurelakan pergi karena ibuku belum merasa cocok. Tapi ada kalanya aku yang tidak cocok dengan pilihan ibuku. Kali ini aku berani membantah karena aku memang benar-benar tidak suka dengannya. Di depan ibu dia begitu manis, seperti kelinci yang jinak. Tapi saat denganku saja, dia begitu berani menggoda. Menyebalkan sekali. Ingin kumarahi, aku kasihan. Ingat bahwa dia anak orang. Tapi kalau tidak dimarahi dia akan lebih keterlaluan. Akhirnya aku pilih menghindar. Awalnya sih susah sekali menghindar darinya. Baru setelah berbulan-bulan dia akhirnya berhenti mengejarku. Sudah capek mungkin, hehe. Atau sedang menyusun strategi baru? Tak tahulah yang jelas aku tidak bisa dipaksa.
    Sampai disini, aku mulai mengambil kesimpulan. Bahwa suatu saat aku pasti akan menikah juga. Tapi jika ditanya kapan saatnya, aku menyadari waktu yang paling tepat adalah saat dimana aku dan ibuku mencintai satu laki-laki yang sama... ^^

To be continue...

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya